Muhdi Akbar; Toleransi 3 Agama di Selayar (1)
BERBICARA mengenai model toleransi antar umat beragama dalam satu komunitas penganut kepercayaan Muhdi Akbar, maka pada tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai bagaimana ajaran Muhdi Akbar ini menjiwai kehidupan masyarakat di Desa Binanga Sombaiya. Sehingga perbedaan identitas agama tidak menjadi pembeda atau pemisah di kehidupan sosialnya. Desa ini terdiri atas 4 dusun, yaitu: Kayu Pandak, Binanga Benteng, Ujung Loe, dan Baho Rea.
Ibukota desanya terletak di dusun Binanga Benteng. Inilah yang menjadi pusat penyebaran ajaran Muhdi Akbar pada masa lalu. Di dusun inilah terdapat beberapa rumah tangga di mana anggota keluarganya menganut 2 agama berbeda. Bahkan ada yang sampai 3 agama berbeda yang dianut dalam satu rumah tangga.
Saat ini, di dusun Binanga Benteng terdapat 3 rumah ibadah, yaitu pertama rumah ibadah orang Hindu yang menggunakan bangunan rumah tinggal, yang kedua adalah gereja untuk rumah ibadah orang Nasrani, dan masjid yang merupakan rumah ibadah orang Islam. Gereja dan masjid itu sudah berbentuk bangunan permanen.
Antara satu rumah ibadah dengan rumah ibadah lainnya, jaraknya tidak terlalu berjauhan, hanya sekitar 20-an meter. Masjid terletak di bagian paling utara di sisi barat jalan poros. Rumah ibadah orang Hindu terletak di tengah di antara masjid dan gereja, juga di sisi barat jalan poros. Sementara gereja terletak di bagian selatan kampung di sisi timur jalan poros.
Jika toleransi beda agama itu terjadi antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya yang beda agama, maka itu mungkin sesuatu wajar dan mudah ditemui di tempat lain, terlebih di wilayah perkotaan. Tetapi toleransi beda agama yang ada di Binanga Benteng, berada sampai dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu keluarga batih (orang tua dan anak). Mereka hidup rukun dalam perbedaan itu.
Belum hapus dari ingatan kita kerusuhan besar yang terjadi di negeri ini yang menelan banyak korban, dimulai dari kerusuhan Ambon kemudian di susul Poso. Kedua kasus ini menggugah perhatian dunia karena begitu banyaknya korban yang jatuh.
Peristiwa ini menyimpan dendam masa lalu yang diwariskan secara alami dari generasi ke generasi, sehingga sangat mudah untuk disulut dan diledakkan kembali. Kita semua sadar bahwa isu kuat yang dibangun sehingga kekacauan itu terjadi begitu besar adalah masalah perbedaan agama.
Binanga Benteng menyuguhkan pemandangan toleransi yang sangat indah. 3 penganut agama berbeda hidup berdampingan dengan rukun dalam satu kesatuan masyarakat Desa Binanga Sombaiya, dalam kehidupan bertetangga, sampai dalam kehidupan berumah tangga seperti yang sudah disebutkan di atas. Inilah yang membuat model toleransi di Binanga Benteng berbeda dengan model toleransi di daerah lain.
Toleransi yang biasa ditemui di wilayah kota sangat jauh berbeda yang ada di Binanga Benteng. Toleransi di wilayah kota lebih mengarah pada sikap tidak saling peduli antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mungkin mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Hubungan seperti itulah yang kemudian kita sebut sebagai toleransi.
Berbeda jauh dengan toleransi antar umat beragama di Binanga Benteng. Mereka berada dalam lingkup desa, dusun, tetangga, sampai yang terkecil di rumah tangga. Mereka sudah pasti saling mengenal satu sama lain. Semangat gotong-royong masih menjiwai kehidupan masyarakat. Informasi apapun akan dengan sangat mudah menyebar keseluruh lapisan masyarakat.
Itulah adalah gambaran umum mengenai toleransi yang ada di Binanga Benteng. Lebih jauh model toleransi masyarakat dapat dilihat dari berbagai segi kehidupan sosial mereka. Baik di lingkup keluarga, bertetangga, dan bermasyarakat. Begitu juga pada pelaksanaan ibadah masing-masing agama, dan kegiatan-kegiatan adat masyarakat.
Ada satu ajaran yang ditanamkan oleh Muhdi Akbar kepada semua pengikutnya bahwa urusan dunia adalah urusan bersama, dan urusan dengan Tuhan adalah urusan diri pribadi seseorang. Jadi mereka tidak menghubungkan antara hubungan sosial kemasyarakatan dengan hubungannya kepada Tuhan. Ajaran ini menjadi salah satu ajaran dasar yang ditanamkan begitu kuat oleh Muhdi Akbar di tengah masyarakat.
Ajaran itu menjadi pegangan bersama ke-3 agama yang ada di Binanga Benteng sampai saat ini. Sehingga perbedaan keyakinan dalam beberapa agama bukanlah hal yang harus mereka bahas untuk kemudian dipertentangkan. “Urusan pilihan keyakinan itu urusan sendiri-sendiri. Silahkan ber-Tuhan menurut keyakinan dan kemampuanmu”, itu adalah pesan dari orang-orang tua mereka. (1/2)
Uraian mengenai toleransi 3 agama di Binanga Benteng ini merupakan tulisan Hasmah dalam bukunya yang berjudul "Muhdi Akbar (Model Toleransi Umat Beragama Di Kabupaten Selayar)". Buku ini merupakan hasil penelitian pada tahun 2016, dan diterbitkan pada tahun itu juga oleh Pustaka Sawerigading. Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya tempat ia bekerja mengusung tema penelitian pada tahun itu tentang "Disintegrasi Bangsa"
Bersambung.... Muhdi Akbar; Toleransi 3 Agama di Selayar (2)
Dapatkan bukunya di www.pustakasawerigading.com