Muhdi Akbar; Merajut Toleransi Dalam Ruang Keluarga
TOLERANSI dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, dimulai dari kuatnya toleransi ditanam dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga. Setiap orang tua punya tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan hidup anak-anaknya. Itu tentu sesuatu hal yang sangat normatif.
Kebutuhan yang dimaksud terkait mengenai 5 kebutuhan dasar setiap manusia, yaitu: sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Termasuk dalam hal ini pendidikan agama yang harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Pentingnya pendidikan agama karena ini menyangkut cara sang anak kelak berhubungan dengan Tuhan-nya.
Pendidikan agama juga menjadi kendali bagi sang anak dalam berbuat dan bertindak setelah ia tumbuh dewasa. Pemahaman agama yang baik akan menuntun sang anak untuk dapat mengetahui sesuatu itu mempunyai nilai kebenaran atau kesalahan dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu, masyarakat dari 3 agama di Binanga Benteng membiasakan anaknya ikut acara sembahyang atau ibadah menurut keyakinan agama orang tuanya. Bagi yang beragama Hindu, membiasakan mengajak anaknya mengikuti pelaksanaan sembahyang setiap malam jum’at di rumah ibadah mereka.
Begitu juga bagi mereka yang beragama Nasrani, para orang tua akan mengajak anak-anaknya untuk terbiasa pergi ke gereja pada hari minggu. Juga mendorong anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti sekolah minggu di gereja.
Maksudnya sudah jelas, supaya anak-anak mereka punya dasar agama yang baik. Tidak jauh berbeda dengan mereka yang beragama Islam, juga mengarahkan anak-anaknya untuk belajar shalat, dan ke masjid mengikuti shalat berjamaah. Menyuruh mereka belajar mengaji pada guru mengaji yang ada di kampung mereka.
Anak-anak tidak dipaksa untuk selalu ikut pada pelaksanaan peribadatan, tetapi selalu dibujuk dan diarahkan. Rasa enggan pasti dimiliki setiap anak, tetapi orang tua mereka tidak berputus asah untuk tetap mengajarkan hal-hal yang dipandang baik bagi mereka.
Bukan hanya pelaksanaan ibadah masing-masing yang menjadi perhatian para orang tua, tetapi bagaimana berinteraksi satu sama lain yang beda agama. Sehingga hidup selaras dalam perbedaan agama sudah tumbuh kuat dalam jiwa anak-anak mereka sejak dini.
Setelah anak-anak mereka dewasa, tidak jarang ada anak yang merasa ingin pindah agama. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, bagi anak yang berasal dari keturunan agama Hindu, mereka kesulitan untuk mendapatkan tenaga pengajar di sekolah. Sehingga pilihan yang paling mudah bagi mereka adalah pindah agama sesuai dengan yang ia inginkan.
Yang kedua, bagi agama yang lain, mungkin mereka menemukan kebenaran yang lebih kuat di luar agamanya. Yang ketiga, adanya perkawinan beda agama. Biasanya kaum perempuan lebih cenderung mengikuti agama calon suaminya.
Perpindahan agama yang disebabkan oleh tiga hal tersebut di atas, bukan suatu hal yang menggemparkan bagi; masyarakat umum, kelompok agama tertentu, atau membuat panik orang tua dan keluarga.
Bagi masyarakat Binanga Benteng itu sesuatu peristiwa yang biasa-biasa saja. Anak yang menyatakan pindah agama tinggal menyampaikan kepada orang tua/ keluarganya bahwa ia pindah agama ke agama A atau B dengan alasan ini, itu sudah cukup bagi mereka.
Begitu juga bagi mereka yang mau kawin beda agama, cukup dibicarakan di lingkungan keluarga siapa yang akan mengikuti agamanya siapa. Meski ada kecenderungan istri ikut agama suami, tetapi tidak menutup kemungkinan suami yang ikut agama istrinya.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah setelah ada perpindahan agama seperti itu, hubungan orang tua dan anak akan berubah menjadi kaku atau renggang? Jawabannya adalah, “Tidak”. Hubungan tetap berjalan normal seperti biasa adanya.
Sebagai orang tua, mereka tidak merasa tanggung-jawabnya berkurang setelah anaknya memutuskan memilih agama yang berbeda dengan dirinya. Tanggung-jawab orang tua terhadap anaknya tetap sama, yaitu membiayai pendidikan anaknya, memenuhi kebutuhan lainnya, dan menikahkan anaknya.
Begitu juga pada pembagian waris, orang tua tetap berusaha membagikan warisan dengan adil kepada anak-anaknya meskipun sudah ada yang beda agama. Sebaliknya, sang anak yang sudah beda agama dengan orang tuanya entah dengan alasan apapun, tetap mempunyai kewajiban yang tidak berkurang untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.
Perbedaan agama dalam rumah tangga tidak mempengaruhi hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga terhadap yang lainnya. Justru muncul kewajiban baru untuk saling mengingatkan kewajiban ibadah masing-masing. Itu salah satu bentuk perhatian anggota keluarga terhadap yang lainnya. Begitu juga mereka dalam rumah tangga saling membantu dalam pelaksanaan hari raya masing-masing, misalnya untuk menyiapkan jamuan dan lain-lain.
Bersambung.... Muhdi Akbar; Merajut Toleransi Dalam Ruang Keluarga - Arung Selayar (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Muhdi Akbar; Melihat Ruang Toleransi Masyarakat 3 Agama - Arung Selayar (arungsejarah.com)
Catatan:
Tulisan ini membahas tentang bagaimana komunitas masyarakat Muhdi Akbar memahami dan menjalani toleransi dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan Hasmah dalam bukunya yang berjudul "Muhdi Akbar (Model Toleransi Umat Beragama Di Kabupaten Selayar)". Buku ini merupakan hasil penelitian pada tahun 2016, dan diterbitkan pada tahun itu juga oleh Pustaka Sawerigading. Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya tempat ia bekerja mengusung tema penelitian pada tahun itu tentang "Disintegrasi Bangsa"
Sumber: Muhdi Akbar: Model Toleransi Umat Beragama di Kabupaten Selayar - Pustaka Sawerigading