Kehidupan Masa Kanak-Kanak Haji Hayyung (3)
AKHIRNYA Hayyung kembali ke kampungnya di Barugaiya. Pamannya sangat kecewa, begitu pula dengan keluarga besarnya, terlebih kedua orang tuanya. Ternyata lingkungan sekolah tidak sanggup mendidiknya menjadi lebih baik, malah kenakalannya semakin menjadi-jadi. Keluarga besarnya merasa semakin malu karena kenakalan Hayyung kini menjadi cerita miring di lingkungan sekolah.
Ia kembali pada kebiasaannya semula, melakukan judi sabung ayam. Lingkungan yang ditinggalkannya beberapa waktu lalu karena bersekolah, tidak berubah sama sekali. Teman-teman seperjudiannya masih ada dan selalu siap untuk menemaninya berjudi.
Seiring perjalanan waktu, Hayyung mulai bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa. Dari pergaulan itu, perjudian yang dilakukannya pun tidak lagi terbatas pada sabung ayam. Ia mulai akrab dengan permainan judi yang menggunakan kartu sebagai alat perjudian, seperti; domino, bujang omi, camekngo (juga semacam permainan kartu).
Permainan judi kartu tersebut sudah sangat umum dikenal oleh masyarakat Selayar ketika itu.
Di kalangan teman-temannya dan sesamanya pemain judi, Hayyung dikenal sangat mahir memainkan semua jenis permainan judi kartu. Karena begitu mahirnya bermain judi, suatu ketika ia pernah mengalahkan bandar judi seorang Cina di Barugaiya. Mendengar apa yang telah dilakukan anaknya itu, La Mattulada marah besar. Ia berfikir keras cara apa yang harus ditempuh agar anak laki-laki kesayangannya itu bisa sadar.
Sebagai orang tua, ia merasa keceawa karena gagal mendidik anaknya. Kesalahan tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada anaknya, karena kedua orang tuanya sadar bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab dalam mendidik dan membesarkan anaknya. Jadi kalau Hayyung tumbuh menjadi anak yang nakal, itu berarti ada kesalahan yang mungkin mereka lakukan dan tidak menyadarinya dalam mendidik anak.
La Mattulada berfikir bahwa yang paling berperan dalam membentuk perilaku anaknya adalah lingkungan pergaulannya. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan yang tidak baik harus segera diputus.
Perjudian, khususnya sabung ayam adalah suatu hal yang lumrah dalam masyarakat Selayar ketika itu, dan hampir bisa ditemui pada setiap kampung, apalagi di Barugaiya yang merupakan Ibukota Distrik Bonea.
Selain berjudi, sebagian masyarakat juga dikenal gemar berzina, membunuh, merampok, dan mabuk-mabukan. Ia khawatir kalau perilaku hidup masyarakat yang tak bermoral itu akan membentuk Hayyung menjadi bandar judi besar di kemudian hari.
Pada tahun 1903, kedua orang tua Hayyung memutuskan untuk menitipkannya kepada jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci Makkah menunaikan ibadah haji. Makkah dianggap sebagai lingkungan sosial yang baik bagi perkembangan pola fikir Hayyung dalam menjalani hidupnya.
Orang tuanya juga bermaksud agar sesampainya di sana, ia dapat belajar agama Islam dengan sempurna. Tanah Arab dianggap sebagai pusat perkembangan dan pembelajaran agama Islam karena di situlah awal lahir dan berkembangnya Islam.
Itulah ikhtiar La Mattulada sebagai orang tua dalam mendidik anaknya supaya menjadi anak yang saleh yang berguna bagi agama dan masyarakatnya. Ia bertawakkal kepada Allah SWT atas apa yang terjadi pada anaknya.
Meski sebagai orang tua, ia tidak akan pernah merasa jenuh dalam mendidik anak yang merupakan titipan Ilahi yang akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di kemudian hari. Perilaku anak bukanlah takdir yang tidak bisa diubah sama sekali, tergantung seberapa besar keinginan dan usaha yang dilakukan oleh orang tua dan lingkungannya. (3/3)
Sebelumnya.... Kehidupan Masa Kanak-Kanak Haji Hayyung (2)
Sumber: buku Selayar dan Pergerakan A.G.H. Hayyung.