Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Haji Hayyung; Masa Pencarian Ilmu Islam di Makkah (3)

Haji Hayyung; Masa Pencarian Ilmu Islam di Makkah, Kehidupan Masa Kanak-Kanak Haji Hayyung, Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung, Pelapisan masyarakat selayar, Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda, Kepercayaan Masyarakat Selayar Pra-Islam, Geologi dan Topografi Selayar, Mengenal Penduduk Selayar dan Bahasanya, Mengenal Nama Selayar, sejarah selayar, nusa selayar, sejarah nusa selayar, sejarah pemerintahan selayar, salajara, selajar, salajar, saleier, saleijer, salaiyer, salaijer, kepulauan selayar, kabupaten kepulauan selayar, K.H. Hayyung, Haji Hayyung, Aroepala, Masyarakat Selayar Memeluk Islam Berdasarkan Lontaraq Sultan Pangali Patta Raja,Pengabaran Injil di Selayar

SESAMPAI di Makkah, maka pada tahun yang sama Haji Hayyung mendaftarkan diri untuk kuliah di pesantren Al Falah Uliyah. Ia menjalani pendidikan selama 3 tahun, yaitu dari tahun 1916 sampai tahun 1919. Pada masa perkuliahan inilah, ia mendapat kesempatan yang luas untuk memperdalam ilmu pengetahuan agamanya. 

Di samping belajar, ia juga dipercaya untuk mengajar di pesantren Al Falah pada tingkat Tsanawiyah. Selain itu, ia juga ditunjuk sebagai syech di Marwah- Makkah untuk mengurus jamaah haji yang berasal dari Nusantara, khususnya dari daerah Bugis-Makassar. Haji Hayyung mempunyai keahlian dalam bidang kehakiman agama dan tafsir Al-Qur’an.

Tidak ditemukan keterangan mengenai cabang-cabang ilmu pengetahuan yang didalami oleh Haji Hayyung selama menuntut ilmu di Makkah. Anaknya yang bernama Muhammad Abduh menyebutkan bahwa ada ijazah dan sejumlah kitab yang ditulis dalam huruf Arab tanpa tanda baca yang dibawa pulang oleh Haji Hayyung dan di simpang di rumahnya di Barugaiya. 

Akan tetapi, ijazah yang dimaksud tidak diketemukan kembali saat dilakukan pencarian pada tanggal 9 Agustus 1986. Sementara kitab-kitabnya, sebagian kecil masih tersimpan, seperti Tafsir Al-Manar, Ummu Dien, dan Al-Ihsan Al-Kamil. Ada pula sebagian kitab-kitabnya yang dibawa oleh anaknya yang bernama Abdul Malik Daeng Ri Makka, anak dari istrinya yang bernama Haji Baine. 

Dan kitab-kitab yang lainnya dirampas oleh pemerintah Belanda ketika melakukan penggeledahan besar-besar di Selayar pada tahun 1947. Rumah Haji Hayyung menjadi sasaran utama penggeledahan, karena ia adalah tokoh utama lahirnya perlawanan bersenjata di Selayar menentang kembalinya penjajah Belanda. 

Sebagai seorang tokoh agama yang sangat peduli pada kemerdekaan, ia mampu membangkitkan semangat juang pemuda dan masyarakat Selayar pada umumnya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Kitab-kitab yang dirampas oleh Belanda itu, antara lain; Al-Baijuri, Fathul Muin, Syarqawi Alat Tahrir, Fathul Wakhab, Qawamin Syariah Lissyayyid Utsman Bin Yahya, Qawamin Syariah Lissyayyid Sadad Dahlan, Bulugul Maram, Tafsir Jalalain, Ilmu Aroody, Ilmu Balagah, Ilmu Mantiq, Ilmu Qalam Al-Bayan, Al-Munier, Kamus Baidawy, Kamus Munjik, Mizan, Syamsuri Fil Faraid, dan Muinul Mubien IV-V.

Selama tahap pertama menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, yaitu sejak tahun 1903 sampai pada tahun 1915, ia dibiayai sendiri oleh orang tuanya. Ayahnya yaitu Haji Abdul Rahim yang lebih akrab disapa dengan La Mattulada adalah seorang petani kelapa yang menguasai perdagangan kopra di Selayar bagian utara. 

Kekayaan La Mattulada mampu menyaingi kekayaan opu-opu di Selayar ketika itu. Begitu pula pada kali kedua Haji Hayyung menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, ia masih dibiayai oleh orang tuanya. Ketika itu, 

Perang Dunia I sementara berkecamuk, sehingga hubungan dengan tanah air terputus yang berakibat kiriman biaya dari orang tuanya pun terputus. Keadaan keuangan Haji Hayyung menjadi tidak menentu, sementara kebutuhan hidup bersama istrinya dan pendidikan semakin mendesak. Oleh sebab itu, maka pada tahun 1918 Haji Hayyung memutuskan untuk kembali ke Tanah Air di Barugaia- Selayar. (3/3)