Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Muhdi Akbar; Melihat Ruang Toleransi Masyarakat 3 Agama

SELAYAR.ARUNGSEJARAH.COM - Muhdi Akbar; Melihat Ruang Toleransi Masyarakat 3 Agama), Apa arti dari Selayar? Selayar penghasil apa?, Berapa jam perjalanan dari Makassar ke Selayar? Selayar itu di mana? Berapa jumlah penduduk di Selayar? Produk-Produk Pertanian di Selayar hingga 1947, Pertanian Bahan Pangan di Selayar Masa Penjajahan, Rumah Tahanan Masa Belanda di Selayar, Jejak Jembatan di Selayar hingga 1947, Daftar Distrik di Afdeeling Selayar Masa Belanda 1906, Gedung Tahanan Sementara Selayar: Bangunan Peninggalan Belanda yang Terbengkalai, Sistem Kekerabatan Masyarakat Selayar, Haji Hayyung; Masa Pencarian Ilmu Islam di Makkah, Kehidupan Masa Kanak-Kanak Haji Hayyung, Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung, Pelapisan masyarakat selayar, Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda, Kepercayaan Masyarakat Selayar Pra-Islam, Geologi dan Topografi Selayar, Mengenal Penduduk Selayar dan Bahasanya, Mengenal Nama Selayar, sejarah selayar, nusa selayar, sejarah nusa selayar, sejarah pemerintahan selayar, salajara, selajar, salajar, saleier, saleijer, salaiyer, salaijer, kepulauan selayar, kabupaten kepulauan selayar, K.H. Hayyung, Haji Hayyung, Aroepala, Masyarakat Selayar Memeluk Islam Berdasarkan Lontaraq Sultan Pangali Patta Raja, Pengabaran Injil di Selayar
SELAYAR.ARUNGSEJARAH.COM - Muhdi Akbar; Melihat Ruang Toleransi Masyarakat 3 Agama).

TOLERANSI masyarakat 3 agama di Binanga Bentng dapat dilihat dari banyak hal dalam kehidupan mereka. Ruang toleransi mereka dapat dilihat dari kehidupan mereka bermasyarakat secara umum. Mereka mengenal dan mempraktekkan toleransi yang tidak hanya terbatas pada saling menghargai kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Ada ruang yang begitu banyak dan luas tempat mereka mempraktekkan kehidupan toleransinya. 

Di antaranya, pola pemukiman mereka yang berbaur antara Hindu, Nasrani, dan Islam. Kalau mereka mau mengeksklusifkan diri, bisa saja wilayah Binanga Benteng dibagi dalam 3 kelompok pemukiman besar berdasarkan keyakinan agama masyarakatnya. 

Mereka membangun rumah yang berdekatan (bersampingan atau berhadapan) dengan rumah masyarakat yang lain yang beda agama. Tidak berbeda jauh dengan rumah ibadah masing-masing agama yang juga berbaur dengan rumah-rumah masyarakat yang berbeda agama. 

Rumah salah seorang tokoh agama Hindu yang bernama Baso Tompe tepat berhadapan dengan masjid. Begitu juga dengan rumah ibadah orang Hindu yang berhadapan dengan rumah tinggal seorang Islam. Gereja juga dibangun berhadapan dengan beberapa rumah orang Islam, termasuk di antaranya rumah Imam Dusunnya.

Toleransi mereka yang elok itu juga dapat lihat dari pola pekuburan. Mereka hanya memakai satu pekuburan umum untuk semua umat beragama, baik Hindu, Nasrani, maupun Islam. Padahal ada banyak hal yang bisa dijadikan alasan untuk membangun tempat pekuburan masing-masing sesuai dengan keyakinan agamanya. 

Tetapi itu tidak terjadi dan tidak pernah terlintas dari pikiran mereka untuk melakukannya. Pola pekuburan masyarakatnya menggunakan pola yang sama dengan pemukiman mereka, bercampur-baur. Ego masing-masing agama tidak ditunjukkan dalam kedua hal ini. Tidak ada satu kelompok agama yang menunjukan diri lebih utama dibanding yang lainnya. 

Dalam perkawinan, toleransi yang begitu indah juga terlihat sangat jelas. Setiap keluarga atau orang tua tidak pernah mengajarkan kepada anak untuk tidak suka kepada lawan jenisnya karena alasan beda agama. Yang penting kedua pasang remaja itu sudah saling suka, tidak ada lagi masalah. Perbedaan agama bisa dibicarakan, siapa yang akan mengikuti agamanya siapa. Tetapi kecenderungannya istri ikut suami. 

Bersambung... Muhdi Akbar; Melihat Ruang Toleransi Masyarakat 3 Agama - Arung Selayar (arungsejarah.com)

Catatan:

Tulisan yang membahas tentang Muhdi Akbar dalam ruang toleransi masyarakat 3 agama ini merupakan tulisan Hasmah dalam bukunya yang berjudul "Muhdi Akbar (Model Toleransi Umat Beragama Di Kabupaten Selayar)". Buku ini merupakan hasil penelitian pada tahun 2016, dan diterbitkan pada tahun itu juga oleh Pustaka Sawerigading. Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya tempat ia bekerja mengusung tema penelitian pada tahun itu tentang "Disintegrasi Bangsa"