Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Produk-Produk Pertanian di Selayar hingga 1947 (2)

Apa arti dari Selayar? Selayar penghasil apa?, Berapa jam perjalanan dari Makassar ke Selayar? Selayar itu di mana? Berapa jumlah penduduk di Selayar? Produk-Produk Pertanian di Selayar hingga 1947, Pertanian Bahan Pangan di Selayar Masa Penjajahan, Rumah Tahanan Masa Belanda di Selayar, Jejak Jembatan di Selayar hingga 1947, Daftar Distrik di Afdeeling Selayar Masa Belanda 1906, Gedung Tahanan Sementara Selayar: Bangunan Peninggalan Belanda yang Terbengkalai, Sistem Kekerabatan Masyarakat Selayar, Haji Hayyung; Masa Pencarian Ilmu Islam di Makkah, Kehidupan Masa Kanak-Kanak Haji Hayyung, Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung, Pelapisan masyarakat selayar, Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda, Kepercayaan Masyarakat Selayar Pra-Islam, Geologi dan Topografi Selayar, Mengenal Penduduk Selayar dan Bahasanya, Mengenal Nama Selayar, sejarah selayar, nusa selayar, sejarah nusa selayar, sejarah pemerintahan selayar, salajara, selajar, salajar, saleier, saleijer, salaiyer, salaijer, kepulauan selayar, kabupaten kepulauan selayar, K.H. Hayyung, Haji Hayyung, Aroepala, Masyarakat Selayar Memeluk Islam Berdasarkan Lontaraq Sultan Pangali Patta Raja, Pengabaran Injil di Selayar
SELAYAR.ARUNGSEJARAH.COM - Produk-Produk Pertanian di Selayar hingga 1947 (2).

BERDASARKAN Laporan Serah Terima Jabatan Onderafdeeling Selayar dari J. van Bodegom Juni 1947, disebutkan biaya transport perahu saat itu sangat tinggi. Untuk tarif pengangkutan kopra dipatok dengan harga 30 gulden. Tarif ini pun bervariasi dari 3 — 6 gulden atau 10% hingga 20% dari harganya. 

Dengan perbandingan harga seperti ini, maka produk yang terkonsentrasi secara prosentase lebih murah dalam pengangkutan atau produk dasar/yang belum diolah (kelapa konsumsi) lebih disukai untuk perjanjian bagi hasil sementara antara pemilik dan pelaku transportasi. Meski demikian, kondisi ini tidak terjadi di semua tempat. 

Untuk pulau-pulau yang lebih jauh terpencil tidak menjadi masalah apa yang diproduksi, asalkan mereka tidak bergantung pada sarana transportasi. 

Pemerintah kemudian berunding dengan Coprafonds (Dana Kopra) dan diputuskan untuk mendirikan pusat pembelian kopra di Pulau Katella (Jampea). Dan selain itü juga ada kemungkinan untuk menyetor kelapa itü di Benteng, dengan harga jual kota Makassar.

Peraturan ini dibuat dengan tujuan untuk menggairahkan kembali prodüksi kopra. Meski demikian, sampai laporan ini dibuat, belum bisa diramalkan bagaimana hasilnya. 

Hal-hal yang lebih terperinci mengenai harga, kantong-kantong produksi, tekstil dan sebagainya, dapat dijumpai dalam bundel berkas "Coprafonds".

Dalam Laporan Serah Terima Jabatan Onderafdeeling Selayar dari J. van Bodegom Juni 1947 ini juga disebutkan bahwa secara teoritis campur tangan kepala onderafdeling bersifat terbatas dalam hal mengelola uang kas yang disediakan Coprafonds, serta penyerahan uang kas kepada perwakilan di pulau Katella dan kepada mantri-kopra di Benteng, dan /juga untuk penyimpanan tekstil. Dalam prakteknya hal ini jauh lebih sulit untuk dilakukan. 

Pembelian minyak kelapa berada sepenuhnya di tangan pedagang-pedagang Cina dan begitu juga halnya dengan pembelian dan transportasi kelapa untuk konsumsi langsung. Sebagian beşar minyak kelapa dikirim ke Makassar. 

Namun dahulu, sebelum pengekspor diwajibkan memiliki surat ijin, pengiriman kelapa dan minyak kelapa juga dikirim ke Surabaya. 

Masalah lain yang ditemui terkait turunnya produksi kopra yakni kondisi kebun-kebun kelapa pada umumnya kurang baik. 

Setelah tahun 1927, terjadi banyak kerusakan oleh penyakit brontispa dan kutu berbulu. Karena adanya usaha-usaha pemberantasan yang dilakukan, kerusakan itu dapat diatasi, namun produksinya cukup mengalami imbasnya.

Penyakit brontispa masih didapati, sekalipun dalam jumlah kecil di sepanjang pantai barat Selayar, dan masih terus dilaksanakan usaha-usaha pemberantasannya.

Hal lain yakni penanaman benih sama sekali tidak dilaksanakan secara sistimastis. Semua usaha di masa lampau untuk mengatur hal ini telah gagal. Hanya dengan adanya suatu waktu yang panjang dimana harga kelapa cukup tinggi, kondisi akan dapat dilakukan perbaikan.

Namun bagaimana hal ini dapat terwujudkan dan apa dampaknya jika dilakukan campur tangan dalam hal ini ? 

Tentunya hal ini akan mempengaruhi keseimbangan dari keterkaitan berbagai faktor sosial seperti sistem penyewaan kebun, kehormatan seorang pemilik perkebunan dan terutama juga pengelolaan kebun yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya hingga hari tuanya. 

Seorang pemilik kebun yang sudah tua, tidak akan bergairah melakukan penanaman bibit kelapa, karena berfikir bukan dia yang akan memetik hasilnya. 

Terjadinya musim Musson kering di tahun 1945-1946 juga tidak berakibat baik pada kebun-kebun kelapa.

Perbaikan kondisi ini akan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Tanaman kelapa di tanah genting di kepulauan Rajuni sudah lama tidak berbuah, setelah sebelumnya berbuah dengan baik di antara tahun ke -10 dan ke -20. Kemungkinan besar unsur hara di tanah-tanah pasir itu sudah habis.

Pulau Kalao, Bonerate dan Kalaotoa jumlah pohon kelapanya hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sehingga di antara pulau-pulau itu sebenarnya hanya Kayuadi, Jampea dan Tambolongan yang produktif. 

Di Jampea terdapat 3 persil kebun kelapa sewa milik Bpk. Moreux (Makassar) yang dibentuk menjadi "Pekebunan Kelapa" yang kini dalam keadaan terlantar. Di sana setidaknya ada 2000 pohon kelapa yang sedang berbuah. Ini adalah tanah sewa satu-satunya yang masih ada di onderafdeling ini. 

Kapas 

Pohon kapas tumbuh di semua wilayah masyarakat adat Selayar kecuali Rajuni.....

Bersambung.... Produk-Produk Pertanian di Selayar hingga 1947 (3)

Sebelumnya.... Produk-Produk Pertanian di Selayar hingga 1947 (1)