Pengabaran Injil di Selayar
SETELAH Islam, masyarakat Selayar juga diperkenal dengan ajaran agama lain, yaitu Kristen. Ajaran ini masuk ke Nusantara termasuk Selayar mengikuti kegiatan penjajahan Belanda. Olehnya itu, oleh masyarakat Selayar, agama ini disebut juga sebagai agama penjajah, maksudnya—agamanya kaum penjajah Belanda.
Penyebaran agama Kristen yang lebih dikenal dengan istilah Pengabaran Injil merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari kegiatan penjajahan Belanda yang dilakukan di Nusantara. Kaum penjajah membawa tiga misi utama dalam upaya perburuan rempah yang mereka lakukan.
Misi itu dikenal dengan semboyang gold gospel glory. Gold maksudnya mencari kekayaan melalui perdagangan, gospel maksudnya mencari kejayaan dengan meluaskan wilayah jajahan, dan glory maksudnya melakukan pengabaran Injil di wilayah jajahannya.
Upaya pengabaran Injil di Selayar dimulai sekitar tahun 1930-an. Dilakukan oleh kelompok zending (sebutan untuk pengabar Injil- Kristen Protestan), yang merupakan bagian dari perintah resmi kerajaan Belanda. Jadi mereka dalam gerakannya, tetap dalam kendali pemerintah penjajah Belanda.
Mereka meyakini bahwa pengabaran Injil di Selayar akan lebih mudah. Keyakinan ini dilatari oleh adanya kelompok ajaran Binanga Benteng (yang kemudian dikenal dengan nama Muhdi Akbar) yang mengakui keutamaan Nabi Isa dengan kitab Injilnya. Pada dasarnya, mereka menganggap diri bagian dari Islam. Tetapi oleh kelompok Islam yang lain, khususnya kelompok Muhammdiyah—menganggap kelompok ini telah keluar dari ajaran Islam; mereka dianggap sesat.
Sebagai langkah awal, pihak zending melakukan penelitian tentang kelompok ajaran Binanga Benteng ini. Penelitian ini dilakukan oleh Tn. Broken dari Indische Kark yang berkantor di Makassar. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa kelompok ajaran Binanga Benteng telah keluar dari ajaran Islam. Berdasarkan kesimpulan tersebut, seorang zending bernama Dr. Kreimer berkeyakinan bahwa dalam tempo satu tahun pengikut kepercayaan Binanga Benteng dapat di-Kristen-kan semua.
Pola pengabaran Injil oleh kelompok zending, di antaranya—dilakukan melalui pendekatan pendidikan. Dibangunlah sekolah resmi pada tahun 1935 dengan persetujuan pemerintah kolonial Belanda. Karena sasaran peng-Injilannya adalah pengikut Binanga Benteng, maka sekolahnya pun dibangun di pemukiman utama kelompok tersebut.
Secara umum, kurikulum di sekolah ini mengajarkan pengetahuan umum. Masyarakat yang menyadari arti pentingnya pendidikan pun menganjurkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah baru tersebut. Oleh masyarakat, perbedaan keyakinan antara mereka dengan pengurus sekolah—tidaklah dipermasalahkan. Masyarakat berharap, melalui pendidikan tersebut—anak-anak mereka akan tumbuh menjadi manusia yang cerdas yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat dan agamanya.
Kepedulian pihak sekolah terhadap pendidian anak-anak di sekitarnya sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari program beasiswa yang diberikan kepada anak-anak yang tidak mampu. Dr. Kreimer sebagai bagian dari pengelola sekolah—mempunyai kedekatan hubungan dengan keluarga bangsawan. Sehingga anak-anak dari kaum bangsawan pun banyak yang mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah zending tersebut.
Kurikulum yang baik dan kedekatan hubungan dengan masyarakat, membuat sekolah ini berjalan dengan lancar. Tetapi pada perkembangannya, masyarakat mulai menyadari bahwa sekolah tempat anak-anak mereka belajar adalah bagian dari program pengabaran Injil oleh zending. Mereka kecewa dan melarang anak-anaknya untuk meneruskan belajar di sekolah tersebut.
Upaya zending dalam melakukan pengabaran Injil mengalami kegagalan besar. Penganut Binanga Benteng tetap berpegang teguh pada ajaran agama, dan tidak memberikan ruang kepada kelompok ajaran lain untuk menggantikan keyakinan mereka.
Walaupun sekolah resmi itu penting, tetapi bagi mereka—menjaga kemurnian keyakinan jauh lebih penting. Mereka mengutamakan kemajuan kehidupan kerohanian dibanding dengan kehidupan keduniawian. Sehingga keputusan mengeluarkan anak-anak dari sekolah resmi, bukanlah perkara yang berat.
Meski demikian, ada dua orang anak yang tetap menyelesaikan pendidikannya sampai tamat. Bahkan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Ambon (Maluku Selatan). Kedua orang anak itu bernama Densu dan Nontji Daeng Massikki’. Pendidikan agama Kristen yang mereka dapatkan di sekolah, membuat mereka yakin akan kebenaran ajaran Kristen.
Kemudian mereka secera resmi menyatakan diri masuk Kristen, dan segera dibabtis. Pencapaian tertinggi mereka dalam kepercayaan barunya itu, mereka diangkat menjadi pendeta, dan tetap mengabdikan hidupnya sebagai gembala Tuhan hingga akhir hayatnya.
Sumber: buku Selayar dan Pergerakan A.G.H. Hayyung.