Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda (1)
Controleurswoning van de Afdeling Saleijer 1890 |
SETELAH takluknya kesulthanan Gowa kepada Belanda pada tahun 1.667, maka dengan sendirinya kerajaan-kerajaan (kesulthanan) yang ada di pulau Selayar-pun ikut menjadi bagian yang ditaklukkan—mengikuti negeri induknya, yaitu Gowa. Segala kendali pemerintahan berada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun wilayahnya sudah ditaklukkan, tetapi susunan pemerintahannya tidak hapus begitu saja. Susunan pemerintahannya tetap dipertahankan, tetapi aturan adat kesulthtanan/kerajaan tidak lagi berdaulat penuh untuk mengatur dan menetapkan jalannya pemerintahan, termasuk pengangkatan dan pelantikan pejabatnya.
Untuk melancarkan kegiatan pemerintahan dan memudahkan dalam mengarahkan bangsa jajahannya, kaum penjajah tetap menghidupkan pemerintahan adat setempat. Tetapi pemerintahan itu berada di bawah pengawasan ketat kaum penjajah. Kekuasaan pemerintah adat sangat terbatas, dan setiap kebijakannya merupakan perpanjangan tangan kaum penjajah dalam rangka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya pada wilayah jajahannya.
Tidak semua kaum bangsawan yang secara adat paling berhak menduduki sesuatu jabatan dalam pemerintahan dapat menduduki jabatan yang dimaksud. Jika orang tersebut dianggap tidak mendukung kebijakan pemerintah penjajah, maka dengan segala upaya orang tersebut akan disingkirkan dan digantikan oleh orang lain yang dianggap mendukung keberadaan kaum penjajah.
Pada saat sebelum H. Hayyung memulai gerakannya sampai terbentuknya negara kesatuan RI, oleh pemerintah kolonial Belanda, Selayar dibagi atas 17 Distrik, yang terdiri dari 10 di daratan pulau Selayar, yaitu Tanete, Batangmata, Onto, Buki, Bonea, Benteng, Bonto Bangung, Balla Bulo, Laiyolo, dan Barang-Barang. Dan 7 distrik lainnya di kepulauan Selayar, yaitu Tambolongang, Jampea, Kayuadi, Rajuni, Kalao, Bonerate, dan Kalautowa.
Kepala Distrik dikenal oleh rakyat dengan sebutan ”Opu” (raja). Jadi Kepala Distrik Tanete disebut Opu Tanete, begitu pula dengan yang lainnya. Sementara Kepala Kampung disebut ”Gallarang”, dan orang yang menjabat gallarang akrab disapa dengan sebutan ”Opu Galla’”. Di samping kepala distrik dan gallarang yang memegang pemerintahan umum, ada pula kepala urusan agama yang bergelar ”Qadhi” yang lazim disebut ”Opu Kali” di tingkat distrik dan ”Imang” yang lazim di sebut ”Opu Imang” di kampung-kampung.
Dalam pembentukan dan pengembangan adat, kepala distrik (opu) di Selayar ketika itu memegang peranan yang sangat menentukan. Mereka adalah raja di raja bagi rakyatnya yang di tangannyalah segala perintah dan hukum. Dalam hubungan ini, Syahadat Daeng Situju mantan gallarang Paoiya Distrik Bonto Bangung mengatakan bahwa di samping sebutan ”opu”, kepala distrik itu menyandang pula nama sanjungan yang lebih tinggi, yaitu ”kabusunganta”, yang berarti ”tempat rakyat mendurhaka”.
Opu-opu di Selayar ketika itu tidak hanya menguasai penduduk, tetapi juga seluruh daratan dan lautan dalam wilayah kekuasaannya. Untuk itu, maka setiap warga persekutuan adat (rakyat) yang telah berhasil menanam tanaman pokok seperti jagung, padi, dan palawija, diwajibkan membayar ”sima”, yaitu memberikan 10 % dari hasil yang dipungutnya kepada ketua adat/ gallarang yang kemudian sebagiannya lagi disetor kepada opu.
Bersambung.... Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda (2)
Sumber: buku Selayar dan Pergerakan A.G.H. Hayyung