Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pelapisan Masyarakat Selayar (3)

Pelapisan masyarakat selayar, Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda, Kepercayaan Masyarakat Selayar Pra-Islam, Geologi dan Topografi Selayar, Mengenal Penduduk Selayar dan Bahasanya, Mengenal Nama Selayar, sejarah selayar, nusa selayar, sejarah nusa selayar, sejarah pemerintahan selayar, salajara, selajar, salajar, saleier, saleijer, salaiyer, salaijer, kepulauan selayar, kabupaten kepulauan selayar, K.H. Hayyung, Hayyung, Aroepala, Masyarakat Selayar Memeluk Islam Berdasarkan Lontaraq Sultan Pangali Patta Raja,Pengabaran Injil di Selayar

DALAM budaya Selayar menganut paham patrilineal, yang mengutamakan garis keturunan laki-laki dalam hubungan kekerabatan, pengambilan keputusan, tanggung-jawab keluarga, dan pewarisan. Perempuan dari kalangan opu/ karaeng yang menikah dengan laki-laki yang kedudukan lebih tinggi, dianggap sebagai pencapaian yang istimewa dalam hidupnya. Keadaan seperti ini sering diistilahkan dengan sebutan, “A’lehe’ kombai”, artinya, merambat seperti pohon sirih. Maksudnya, perkawianan yang ia lakukan telah mengangkat derajatnya lebih tinggi-- seperti merambatnya pohon sirih dari permukaan tanah ke atas. 

Sementara perempuan yang menikah dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya, sering diistilahkan denga sebutan, “A’lolo’ kandorai”, artinya menjalar seperti ubi jalar. Maksudnya, pernikahan yang ia lakukan tidak mampu mengangkat derajatnya,)—bergerak datar bahkan menurun seperti menjalarnya ubi jalar di permukaan tanah.

Dalam pelaksanaan sebuah hajatan, adanya pelapisan masyarakat pun menjadi landasan pola baku pelaksanaannya. Bagaimana memperlakukan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan sebuah hajatan, merujuk pada pola pelapisan masyarakat tersebut. 

Bentuk penghormatan kepada setiap orang berbeda—disesuaikan dengan tingkat kedudukannya dalam pelapisan masyarakat. Yang lebih tinggi kedudukannya, lebih diutamakan dan lebih dihormati. Kepada yang lebih rendah, dihargai dan diayomi. Hajatan yang dilaksanakan di sebuah rumah, letak tempat duduk sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan pelapisan yang ada. 

Tempat duduk yang paling utama adalah yang terletak di sisi barat. Sehingga dikenal dalam masyarakat—istilah attolong lau’, artinya—duduk di sisi barat, maksudnya—menempati tempat duduk yang paling utama atau terhormat. Yang bisa attolong lau’ adalah dari kalangan bangsawan, khususnya para pejabat di pemerintahan.

Sementara dari kelompok masyarakat to samara menempati tempat duduk di lantai utama, tetapi tidak boleh melewati benteng polong. Yang dimaksud benteng polong adalah tiang urutan kedua dari setiap deretan tiang utama, baik dari sisi kiri maupun kanan. Disebut benteng polong dari kelima tiang di setiap deretan tiang utama, benteng polong ini adalah tiang yang bagian atasnya tidak terhubung langsung dengan rangka atap.

Berbeda dengan kelompok masyarakat ata/ pasompo poke, menempati tempat duduk di lantai undakan bawah yang disebut lattakang; ada juga yang menyebutnya saburang. Mereka tidak boleh menempati tempat duduk di lantai utama. Lebar saburang ini jauh lebih kecil dari lebar badan rumah, tetapi ukuran panjangnya sama dengan badan rumah.

Idealnya, adanya pelapisan dalam masyarakat bukan untuk mendzalimi oleh kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain. Tetapi untuk mengatur agar kehidupan dalam masyarakat berjalan serasi dan seimbang. 

Adanya pemerintah dan yang diperintah adalah sebuah keniscayaan. Tidak mungkin semua orang akan menjadi pemerintah, pun tidak mungkin semua menjadi yang diperintah. Adanya pemerintah dan yang diperintah adalah bentuk kerjasama manusi dalam menciptakan kesejahteraan yang luas. (3/3)

Sebelumnya.... Pelapisan Masyarakat Selayar (2)

Sumber: buku Selayar dan Pergerakan A.G.H. Hayyung, dan sumber lapangan lainnya.