Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung (1)
HAYYUNG lahir di saat Selayar dan Nusantara secara umum berada dalam kungkungan penjajah Belanda. Masyarakat hidup menderita dalam kemiskinan dan penindasan. Tetapi keluarganya adalah bangsawan yang kaya raya, sehingga secara ekonomi ia tidak pernah merasakan kemelaratan dalam hidupnya.
Bahkan dengan kekayaan yang dimiliki oleh orang tuanya, Hayyung mampu bersekolah di luar negeri, di tanah Arab. Pendidikan yang dijalani di luar negeri membuat ia tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas. Ilmu agamanya sangat tinggi, dan merasa bertanggung jawab untuk meluruskan kesesatan ummatnya.
Pada tanggal 18 November 1892, pasangan suami- istri La Mattulada dengan Andong Lolo Daeng Ranni’ melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hay. Ia kemudian akrab dipanggil dengan nama Hayyung, dan nama itulah yang melekat di dirinya sampai ia wafat. Ia lahir di Barugaiya, Ibukota Distrik Bonea, Onderafdeling Selayar, yang sekarang menjadi Desa Barugaiya, Kecamatan Bonto Manai, Kabupaten Selayar.
La Mattulada (ayah Abdul Hay) yang juga dikenal dengan nama Haji Abdul Rahim adalah seorang keturunan fetta (gelar bangsawan) dari daerah Pammana, Wajo, Sulawesi Selatan. Ayahnya yang bernama La Baso adalah seorang keturunan Arab yang kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga Datu Luwu.
La Mattulada bersama ayahnya (kakek Abdul Hay) dan beberapa orang anggota keluarganya merantau ke Selayar dan tinggal menetap di Barugaiya, Ibukota Distrik Bonea. Selayar ketika itu sudah lama berada dalam wilayah koloni Belanda. Perantauan ke Selayar oleh keluarga La Mattulada terjadi dengan tiba-tiba karena keadaan yang sangat memaksa. Peristiwa ini bermula ketika salah seorang kakak La Mattulada yang bernama La Paroki membunuh salah seorang keluarga raja di Pammana.
Akibatnya, keluarga raja marah besar atas peristiwa itu, dan hampir dipastikan mereka akan melakukan balas dendam terhadap keluarga besar La Paroki. Dalam situasi keamanan keluarga yang terancam, mereka memutuskan untuk meninggalkan Pammana. Keluarga besar itu tidak mempuyai tujuan kepergian yang sama. La Baso (ayah La Mattulada) memilih Selayar sebagai daerah tujuannya.
La Mattulada karena masih kecil ketika itu, ia dibawa serta ayahnya ke Selayar. La Baso menganggap Selayar sebagai daerah yang aman dan sangat memungkinkan untuk melakukan kegiatan usaha dalam rangka mempertahankan hidup. Selayar merupakan salah satu daerah yang masuk dalam wilayah peta perdagangan Nusantara ketika itu.
Sementara sebelas orang saudara La Mattulada dan keluarga lainnya menyebar di berbagai wilayah di Nusantara. Ada yang menetap di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan bahkan sampai di Slangor- Malaysia. Dan rata-rata mereka berhasil dengan penghidupan yang sangat mapan di rantau orang. Oleh sebab itu, Anrong Gurunta Haji Hayyung mempunyai keluarga dekat di wilayah-wilayah yang menjadi tujuan perantuan/ pelarian ke-11 orang saudara ayahnya dan keluarganya yang lain. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan nama HAMKA adalah pamannya.
Sementara Perdana Menteri I Malaysia, Tum Abdul Rahman, adalah sepupu sekalinya. Dan Perdana Menteri Malaysia berikutnya yang bernama Tum Abdul Razak adalah ponakannya. A.G.H. Hayyung juga mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan raja-raja Slangor. Sudah menjadi pegangan hidup dalam keluarga besar A.G.H. Hayyung dari Pammana dan masyarakat Wajo pada umumnya ketika itu, bahwa kalau mereka tidak jadi pedangang kaya harus menjadi ulama besar, dan tidak jarang di antara mereka berhasil mencapai kedua-duanya. (1/2)
Bersambung.... Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung (2)
Sumber: buku Selayar dan Pergerakan A.G.H. Hayyung.