Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung (2)

 Latar Belakang Keluarga Haji Hayyung (2), Pelapisan masyarakat selayar, Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda, Kepercayaan Masyarakat Selayar Pra-Islam, Geologi dan Topografi Selayar, Mengenal Penduduk Selayar dan Bahasanya, Mengenal Nama Selayar, sejarah selayar, nusa selayar, sejarah nusa selayar, sejarah pemerintahan selayar, salajara, selajar, salajar, saleier, saleijer, salaiyer, salaijer, kepulauan selayar, kabupaten kepulauan selayar, K.H. Hayyung, Haji Hayyung, Aroepala, Masyarakat Selayar Memeluk Islam Berdasarkan Lontaraq Sultan Pangali Patta Raja,Pengabaran Injil di Selayar

MASYARAKAT Wajo ketika itu, memang dikenal sebagai masyarakat pedagang yang biasa melakukan perdagangan antar daerah dan antar pulau yang ada dalam wilayah Nusantara bahkan sampai ke negeri-negeri di luar wilayah Nusantara. Mereka banyak dijumpai pada kota-kota yang menjadi tujuan perdagangan, seperti; Makassar, Surabaya, Batavia, Kuala Lumpur, dan Singapura. Dan banyak di antara mereka yang hidup dan tinggal menetap di kota-kota tersebut dengan tingkat penghidupan yang mapan. 

Sebagai pedagang antar pulau, mereka dikenal sangat berani mengarungi samudera yang luas untuk mencapai kota-kota tujuan perdagangan. Secara umum, masyarakat Bugis- Makassar yang hidup dari perdagangan dikenal sangat giat dalam melakukan kegiatan perdagangannya. 

Mereka mendatangi daerah-daerah dan kota-kota perdagangan mana saja yang dianggap memungkinkan untuk mendapatkan barang dagangan untuk selanjutnya dijual kembali. 

Hal ini dapat dilihat dari sisa-sisa kebudayaan dan keturunan mereka yang masih ada pada berbagai daerah di Nusantara dan luar negeri. Sebagai pedagang antar pulau, mereka dikenal sebagai pasompe’ (pelayar/ pelaut) yang sudah biasa berlayar sampai di Formasa dan Malaka sekitar abad ke-15. Di sinilah mereka mulai bersentuhan dengan orang-orang Islam di pusat-pusat perkembangan Islam, seperti Malaka dan Aceh.

Kondisi sosial- politik masyarakat Wajo menjadi kacau pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Hal ini disebabkan karena terjadinya perang saudara antara Wajo dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti; Soppeng, Bone, dan Sidenreng. Kerajaan-kerajaan di daerah Bugis- Makassar mempunyai akar keturunan yang sama. Oleh sebab itu, perang yang terjadi di antara kerajaan-kerajaan itu dapat dianggap sebagai perang saudara. 

Di samping itu, pengaruh bangsa kolonial Belanda semakin kuat dalam politik dan pemerintahan. Hampir seluruh lapangan kehidupan masyarakat di bawah kekuasaannya. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang Wajo yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari tempat yang lebih aman dan kehidupan yang lebih baik. 

Berbeda dengan keluarga La Baso, latar belakang kepergian mereka meninggalkan kampung halamannya Pammana- Wajo, lebih pada keinginan untuk menyelamatkan keluarga besarnya dari aksi balas dendam yang mungkin dilakukan oleh keluarga raja yang telah di bunuh oleh La Paroki. 

Meskipun keluarga besarnya bersatu, tetapi tidak mungkin melakukan perang terbuka dengan pihak keluarga kerajaan. Menghindar adalah pilihan yang terbaik untuk keluarganya saat itu. Mereka meninggalkan Pammana dengan daerah tujuan yang berbeda-beda. Sebuah perpisahan yang sangat menyedihkan, tetapi harus dijalani untuk menyelamatkan keluarga.

Masa kecil La Mattulada dihabiskan di Barugaiya- Selayar bersama orang tuanya. Meski mereka berasal dari daerah lain, tetapi masyarakat setempat sangat menghormatinya sebagai keluarga keturunan bangsawan. Di samping itu, juga karena La Baso termasuk petani kelapa yang berhasil dengan tingkat kehidupan ekonomi yang sangat mapan. 

Seiring dengan perjalanan waktu, La Mattulada tumbuh menjadi pemuda dewasa. Oleh keluarganya, ia kemudian dikawinkan dengan seorang anak bangsawan Barugaiya yang bernama Andong Lolo Daeng Ranni’. 

La Mattulada hidup berbahagia bersama istrinya tercinta dengan dukungan sepenuhnya dari kedua keluarga besarnya. Sebagai layaknya pasangan suami- istri, mereka mendambakan lahirnya anak yang akan menyempurnakan kebahagiaan keluarganya. 

Tidak berselang berapa lama, istrinya hamil dan anak yang didambakan oleh mereka berdua dan kedua keluarga besarnya pun lahir. Anak itu seorang laki-laki dan diberi nama Abdul Hay yang kemudian akrab dipanggil dengan nama Hayyung. 

Bagi keluarga besarnya, Hayyung merupakan tumpuan harapan yang kelak dapat menjaga harga diri dan kehormatan keluarganya, karena ia adalah anak pertama dan seorang anak laki-laki. Dalam pandangan masyarakat Bugis- Makassar, anak laki-laki mempunyai tanggung jawab lebih terhadap keluarga jika dibandingkan dengan anak perempuan, terlebih lagi kalau dia anak pertama. 

Tanggung jawab itu dapat dilihat pada pengambilan keputusan dalam setiap masalah keluarga, seperti perkawinan, upacara-upacara dalam daur hidup masyarakat, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan siri’ (harga diri).