Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pelapisan Masyarakat Selayar (2)

Pelapisan masyarakat selayar, Pemerintahan Adat Selayar Masa pendudukan Belanda, Kepercayaan Masyarakat Selayar Pra-Islam, Geologi dan Topografi Selayar, Mengenal Penduduk Selayar dan Bahasanya, Mengenal Nama Selayar, sejarah selayar, nusa selayar, sejarah nusa selayar, sejarah pemerintahan selayar, salajara, selajar, salajar, saleier, saleijer, salaiyer, salaijer, kepulauan selayar, kabupaten kepulauan selayar, K.H. Hayyung, Hayyung, Aroepala, Masyarakat Selayar Memeluk Islam Berdasarkan Lontaraq Sultan Pangali Patta Raja,Pengabaran Injil di Selayar

KETIGA, budak—yaitu kelompok masyarkat terendah, dan dianggap hina. Budak adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki dirinya sendiri, hak azasinya sebagai manusia sudah tanggal. Mereka adalah milik dari para tuannya, dan bekerja pada tuannya tanpa upah. 

Kedudukan sebagai budak bisa terjadi karena dua sebab. Penyebab pertama adalah karena keturunan; ibu dan atau bapaknya adalah seorang budak, sehingga saat ia terlahir—dengan sendirinya sudah berkedudukan sebagai budak. Ada juga yang menjadi budak karena melakukan kesalahan yang dianggap fatal oleh adat, sehingga ia dihukumi menjadi budak. Seorang yang berkedudukan sebagai budak bisa ditebus dengan sejumlah uang atau harta. Budak bisa menebus dirinya sendiri atau ditebus orang lain. 

Dalam kehidupan masyarakat, budak menjadi salah satu barang dagangan yang laku diperjual-belikan. Mereka boleh dibeli oleh siapapun yang mempunyai alat bayar yang cukup. Bahkan mereka bisa diperdagangkan ke luar negeri. Di Selayar, mereka disebut sebagai ata. 

Ada juga yang disebut sebagai ata pasompo poke, yaitu kelompok ata yang punya kewajiban terlibat dalam menjaga keamanan pihak kerajaan atau keluarga bangsawan. Secara harfiah, ata pasompo poke dapat diartikan sebagai budak pemanggul tombak.

Pelapisan dalam kehidupan masyarakat menjadi hal yang sangat penting—terkait dengan pemerintahan, pembangunan, perkawinan, dan tata pergaulan lainnya. Perlu diketahui bahwa pihak kerajaan berkuasa atas tanah dan segala sumber daya yang ada, termasuk menguasai rakyatnya. 

Terhadap sumber daya, rakyat hanya punya hak mengolah atau memanfaatkan, itupun kalau haknya diberikan. Pihak kerajaan berkuasa menarik hak tersebut, bahkan kuasa untuk mengusir seseorang dalam wilayahnya. Di bidang pemerintahan, jabatan-jabatan yang ada adalah hak mutlak dari kaum opu/ karaeng. To samara tidak berhak sama sekali terhadap jabatan itu, terlebih lagi kalompok ata. 

Di kalangan opu/ karaeng pun masih ada pelapisan, sehingga ada urutan tingkatan hak atas suatu jabatan. Anak yang terlahir saat orang tuanya menduduki jabatan, menjadi yang paling berhak menggantikan orang tuanya saat orang tuanya turun tahta. Tetapi jika tidak ada anak yang terlahir saat orang tuanya menjabat, maka yang berhak adalah anak tertua. 

Adanya pelapisan di kalangan opu/ karaeng, menyebabkan ada keturunan opu/ karaeng yang tidak memegang jabatan apapun dalam pemerintahan. Tetapi ia tetap mendapat kedudukan yang terhormat dalam tata pergaulan masyarakat. 

Pelapisan masyarakat juga menjadi landasan pola baku dalam aturan perkawinan. Perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan antara dua orang bangsawan yang sederajat. Di kalangan opu/ karaeng, seorang laki-laki boleh menikahi perempuan yang derajatnya lebih rendah. Perempuan yang dinikahi tersebut terangkat derajatnya setara dengan suaminya. Derajat perempuannya naik, tetapi secara kualitas tetap beda dari keturunan langsung. 

Berbeda dengan perempuan, terlarang untuk menikah dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya. Perempuan yang melanggar aturan ini, maka derajatnya turun setara dengan suami yang menikahinya. Terlebih jika seorang perempuan menikah dengan orang yang berkedudukan sebagai to samara, maka kedudukannya sebagai bangsawanpun gugur dengan sendirinya. 

Mereka akan tersisih dari keluarga besarnya, ia dianggap sebagai aib yang mencoreng nama baik keluarga. Sehingga muncul istilah di masyarakat yang menyebutkan, “Assiana’kang, mingka gelekang assipole”, artinya, “Kami bersaudara, tetapi kami tidak sama”. Ada juga yang menyebutkan, “Assimpolekang, mingka gelekang assingkamua”, artinya, “Kami sama, tetapi kami tidak serupa”. (2/3)

Bersambung.... Pelapisan Masyarakat Selayar (3)

Sebelumnya.... Pelapisan Masyarakat Selayar (1)

Sumber: buku Selayar dan Pergerakan A.G.H. Hayyung, dan sumber lapangan lainnya