Jejak Keberadaan Jembatan di Selayar hingga 1947
Jembatan Appabatu yang sekaligus merupakan gerbang Kota Benteng, 1911 (Foto: Museum Volkenkunde) |
SELAYAR.ARUNGSEJARAH.COM - Jejak Keberadaan Jembatan di Selayar hingga 1947.
JEMBATAN merupakan sebuah sarana dengan struktur tertentu yang dibangun untuk menghubungkan dua atau lebih rentang hambatan fisik seperti sungai, jurang, teluk, lembah, dan jalan sehingga dapat melintas dengan lancar dan aman.
Karena itu, keberadaan jembatan tentunya menjadi hal yang penting bagi manusia dalam melakukan mobilisasi. Dalam kajian sejarah, keberadaan jembatan ini belum mendapat perhatian yang cukup oleh para sejarawan.
Meski demikian, sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia (Hindia Belanda), laporan-laporan, misalnya tentang Serah Terima Jabatan ataupun buku-buku terkait pembangunan di Hindia Belanda yang terbit pada masa itu cukup telaten memasukkan data-data mengenai keberadaan jembatan di berbagai tempat yang berada di bawah wilayah afdeeling yang ada.
Data-data ini tidak hanya menuliskan tentang jumlah jembatan yang ada, akan tetapi juga memuat berbagai hal terkait jembatan, termasuk yang bertugas melakukan perawatan terhadap jembatan tersebut.
Salah satu data tentang jembatan ini dimuat dalam Laporan Serah Terima Jabatan Onderafdeeling Selayar dari J. van Bodegom Juni 1947.
Berdasarkan data dalam laporan ini, terlihat bahwa sejumlah jembatan dibangun dan dirawat oleh Dinas Pekerjaan Umum (Dienst van Verkeer en Waterstaat/\/&W). Adapun selebihnya dirawat oleh masyarakat adat.
Dalam laporan ini juga disebutkan di masa banyak dari jembatan yang ada memerlukan sangat perawatan yang mendesak. Karena itu, pemerintah telah melakukan dilakukan koordinasi dengan dengan Pengawas PU di Bantaeng/Bonthain.
Berikut data sejumlah jembatan utama di jalanan pesisir utara-selatan yang ada di daerah Selayar hingga 1947, dan lembaga yang bertugas merawatnya:
1. Jembatan Bansiang (kayu = PU), Distrik Buki
2. Jembatan Tulang (besi = PU), perbatasan Buki —Bonea
3. Jembatan Tamangroya (besi = PU), Distrik Bonea
4. Jembatan Talaya (besi = PU), Distrik Bonea
5. Jembatan Bua-bua (kayu = PU), perbatasan Bonea — Benteng
6. Jembatan Parappa (besi = PU), perbatasan Benteng — Bontobangun
7. Jembatan Giring-giring (besi = PU), Distrik Bontobangun
8. Jembatan Bontosunggu (besi = PU), Distrik Bontobangun
9. Jembatan Balang Pattung (besi = PU), Distrik Bontobangun
10. Jembatan Pariangang (besi = PU), Distrik Pariangan (Ballabulo)
11. Jembatan Pattung ( kayu = PU), Distrik Laiyolo
12. Jembatan Kolo Buaya (kayu = PU), Distrik Laiyolo
13. Jembatan Pasobang (besi = PU), Distrik Laiyolo
14. Jembatan Baringan (kayu = Adat), Distrik Laiyolo
15. Jembatan Sangkeha (kayu = Adat), Distrik Laiyolo
16. Jembatan Lebo (kayu = Adat), Distrik Laiyolo
17. Jembatan Bulu-bulu (kayu = PU), Distrik Laiyolo
18. Jembatan Sipi (kayu = PU), Distrik Laiyolo
19. Jembatan Kunyi (kayu = PU), Distrik Laiyolo
20. Jembatan Binanga Benteng (kayu = PU), Distrik Laiyolo
21. Jembatan Kalepe (kayu = PU), Distrik Laiyolo
22. Jembatan Lantibongan (kayu = PU), Distril Laiyolo
23. Jembatan Biring Balang (kayu = PU), Distrik Barangbarang
24. Jembatan Bakka (kayu = Adat), Distrik Barang-barang
Dalam laporan ini juga diungkapkan keberadaan Jembatan Lantibongan (no. 22) yang mengalami kerusakan parah (runtuh) akibat diterjang air.
Oleh karenanya, pemerintah telah membuat jalan memutar, serta membangun jembatan darurat untuk mengatasi lalu lintas manusia dan barang yang sempat tersendat akibat jembatan yang runtuh.
Adapun sumber dana untuk pembangunan jembatan ini rencananya diambil dari dana pajak jalanan atau dari dana uang Adat yang memang disediakan untuk hal tersebut sejumlah 1150 gulden.
Dana tersebut, menurut laporan Serah Terima Jabatan Onderafdeeling Selayar dari J. van Bodegom Juni 1947, selama ini memang hanya digunakan untuk membayar upah mandor, sehingga penggunaannya tetap dapat dipertanggung-jawabkan jika digunakan untuk membangun jembatan. (red)